Bahasa dan Faktor Luar Bahasa (4) Kontak Bahasa

Kontak Bahasa
Dalam masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut kontak bahasa. Bahasa dari masyarakat yang menerima kedatangan akan saling mempengaruhi dengan bahasa dari masyarakat yang datang. Hal yang sangat menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya atau terdapatnya yang disebut bilingualisme dan multilingualisme dengan berbagai macam kasusnya, seperti interferensi, integrasi, alihkode, dan campurkode.

Sebagai contoh, Indonesia adalah negara yang multilingual. Selain bahasa Indonesia yang digunakan secara nasional, terdapat pula ratusan bahasa daerah, besar maupun kecil, yang digunakan oleh para anggota masyarakat bahasa daerah itu untuk keperluan yang bersifat keadaerahan. Dalam masyarakat multilingual yang mobilitas geraknya tinggi, maka anggota-anggota masyarakat akan cenderung untuk menggunakan dua bahasa atau lebih, baik sepenuhnya maupun sebagian, sesuai dengan kebutuhannya. Namun, disamping itu banyak pula hanya menguasai satu bahasa. Orang yang hanya menguasai satu bahasa disebut monolingual, unilingual, atau monoglot yang menguasai dua bahasa disebut bilingual, sedangkan yang menguasai lebih dari dua bahasa disebut multilingual, plurilingual atau poliglot.

Bilingual mencakup dari penguasaan sepenuhnya atas dua bahasa sampai pengetahuan minimal akan bahasa kedua. Kefasihan seseorang untuk menggunakan dua buah bahasa sangat tergantung pada adanya kesempatan untuk menggunakan kedua bahasa itu.

Dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual sebagai akibat adanya kontak bahasa (dan juga kontak budaya), dapat terjadi peristiwa atau kasus yang disebut interferensi,integrasi, alihkode, dan campurkode. Konsep masalahnya tidak sama. Yang dimaksud dengan interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain dalam bahasa yang digunakannya, sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang digunakan itu. Interferensi dapat terjadi pada semua tataran bahasa mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, sampai tataran leksikon.

Interferensi biasanya dibedakan dari integrasi. Dalam integrasi unsur-unsur dari bahasa lain yang terbawa masuk itu, sudah dianggap, diperlakukan, dan dipakai sebagai bagian dari bahasa yang menerima atau yang dimasukinya. Proses integrasi ini tentunya memerlukan waktu yang cukup lama, sebab unsur yang diintegrasikan itu telah disesuaikan , baik lafalnya, ejaannya, maupun bentuknya.
Dalam masyarakat bilingual maupun multilingual seringkali terjadi peristiwa alihkode , yaitu beralihnya penggunaan suatu kode (entah bahasa atau ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain (bahasa atau ragam bahasa lain).


Alihkode dibedakan dari campur kode. Kalau alih kode terjadi karena bersebab, sedangkan campur kode terjadi tanpa sebab. Dalam campur kode kedua kode atau lebih gunakan bersama tanpa alasan, dan biasanya terjadi dalam situasi santai. Kalau dalam situasi formal terjadi juga campur kode karena ketiadaan ungkapan  yang harus digunakan dalam bahasa yang sedang dipakai.

Chair, Abdul 2012. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta

Bahasa dan Faktor Luar Bahasa (3) Penggunaan Bahasa

Penggunaan Bahasa

Adanya berbagai macam dialek dan ragam bahasa menimbulkan masalah, bagaimana kita harus menggunakan bahasa itu di dalam masyarakat. Mungkin anda akan menjawab, ikutilah kaidah-kaidah gramatikal, maka pasti bahasa yang anda gunakan sudah benar. Jawaban ini sungguh keliru, sebab dengan hanya mematuhi kaidah gramatikal saja, bahasa yang kita gunakan mungkin tidak bisa berterima di dalam masyarakat. Umpamanya dalam bahasa Indonesia ada disebut bahwa kata ganti orang kedua dalam bahasa Indonesia adalah kamu atau engkau. Kenyataannya, secara sosial kedua kata ganti itu tidak dapat dipakai untuk menyapa orang kedua yang lebih tua atau yang dihormati. Kedua kata ganti itu, kamu dan engkau, hanya dapat digunakan untuk orang kedua yang sebaya, lebih muda, atau kedudukan sosialnya lebih rendah. Akibatnya, kedua kata ganti itu jarang dipakai, meskipun dalam kaidah ada.

Hymes (1974) seorang pakar sosiolinguistik mengatakan bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni
1.      Setting and Scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan. Umpamanya percakapan yang terjadi di kantin sekolah pada waktu istirahat tentu berbeda dengan yang terjadi di kelas ketika pelajaran sedang berlangsung. Tentu berbeda pula dengan percakpan di rumah duka ketika jenazah belum dikebumikan.

2.      Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan. Umpamanya antara Ali murid kelas dua SMA dengan Pak Ahmad gurunya. Percakapan antara Ali dengan Pak Ahmad ini berbeda dengan percakapan Ali dengan Karim, teman sekelasnya.

3.      Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan. Misalnya, seorang guru bertujuan menerangkan pelajaran bahasa Indonesia secara menarik tetapi hasil yang didapat adalah sebaliknya, murid-murid bosan karena mereka tidak berminat dengan pelajaran bahasa Indonesia.

4.      Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan .

5.      Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan .

6.      Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau bukan.

7.      Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan.

8.      Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.


Kedelapan unsur dari Del Hymes diakronimkan menjadi SPEAKING itu, dalam formulasi lain bisa dikatakan dalam komunikasi lewat bahasa harus diperhatikan faktor-faktor siapa  lawan atau mitra bicara kita, tentang atau topiknya apa, situasinya bagaimana, tujuannya apa, jalurnya apa (lisan atau tulisan), dan ragam mana. 

Chair, Abdul 2012. Lingustik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta

Bahasa dan Faktor Luar Bahasa (2) Variasi dan status Sosial Bahasa

Bahasa bervariasi karena anggota masyarakat penutur bahasa itu sangat beragam, dan bahasa itu sendiri digunakan untuk keperluan beragam pula. Berdasarkan penuturnya kita mengenal dialek, baik dialek regional maupun dialek sosial. Lalau berdasarkan penggunaannya kita mengenal adanya ragam-ragam bahasa, sepert ragam jurnalistik, ragam sastra, ragam ilmiah, dan sebagainya.

Dalam beberapa masyarakat tertentu ada semacam kesepakatan untuk membedakan adanya dua macam variasi bahasa yang dibedakan berdasarkan status pemakainnya. Yang pertama adalah variasi bahasa tinggi (biasa disingkat variasi bahasa T) dan yang lain variasi bahasa renda (biasa disingkat R). Variasi T digunakan dalam sistuasi-situs resmi, seperti pidato kenegaraan, bahasa pengantar dalam pendidikan, Khotbah, surat menyurat resmi, dan buku pelajaran . Variasi T ini harus di pelajari melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah. Sedangkan variasi bahasa R digunakan  dalam situasi  yang tidak formal, seperti di rumah, di warung, di jalan, dalam surat-surat pribadi,  dan catatan untuk diri sendiri. Variasi R dipelajari secara langsung di dalam masyarakat umum, dan tidak pernah dalam pendidikan formal.  Keadaan ini adanya pembedaan variasi bahasa T dan bahasa R di sebut dengan istilah diglosia (Ferguson 1964). Masyarakat yang mengadakan pembedaan ini disebut masyarakat diglosis.

Variasi bahasa T dan R biasanya mempunyai nama yang berlainan. Variasi bahasa Yunani T disebut katherevusa dan variasi bahasa Yunani R disebut dhimotiki. Dalam bahasa Indonesia variasi bahasa T barangkali, sama dengan ragam bahasa Indonesia bakudan variasi bahasa R sama sama dengan ragam bahasa Indonesia yang baru. Variasi bahasa T dan R ini biasanya mempunyai kosakata masing-masing yang berbeda. Sekedar contoh:

Ragam T                    Ragam R
Uang                           Duit
Tidak                           Ngak, kagak

Istri                              Bini


Daftar Pustaka
Chair, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta